Umar ibn Abdul Aziz oleh para ahlul ilmi terhitung dalam jajaran ulama ‘amilin 
(yang beramal) dan khulafaur rasyidin” (adz-Dzahabi). 
Bercerita 
tentang seorang khalifah yang ahli ibadah, zuhud dan khulafaur rasyidin yang 
kelima ini adalah sebuah cerita yang lebih harum daripada bau misk (kasturi), 
lebih indah dari sepetak taman... 
Sirah (perjalanan hidup)-nya yang 
indah dan mulia adalah kebun yang subur, dimanapun anda menempatinya, pasti akan 
menemukan sebuah tanaman yang segar...bunga yang indah...dan buah yang ranum. 
Apabila tidak ada waktu yang lapang bagi kita sekarang untuk memahami 
sirahnya yang menghiasi puncak sejarah, maka hal tersebut tidak menghalangi kita 
untuk memetik setangkai bunga dari tamannya...dan kita mengambil secercah 
cahayanya. Yang demikian itu karena apa yang tidak bisa didapatkan seluruhnya 
maka tidak ditinggalkan sebagiannya (jika tidak bisa semuanya sedikitpun tak 
apa). 
(Sekarang) ambillah tiga potret kehidupan Umar ibn Abdul Aziz, 
kemudian akan diikuti dengan potret yang lain dalam kitab berikut bila Allah 
mengijinkan dan memudahkannya. 
Adapun potret yang pertama, maka yang 
telah meriwayatkan kepada kita adalah Salamah ibn Dinar, seorang ‘alim Madinah, 
qadli dan syaikhnya. Ia menuturkan, “Aku mendatangi khalifah muslimin Umar ibn 
Abdul Aziz, ia berada di “Khunashirah” daerah bagian “Halab.” Umurku telah 
lanjut dan sudah lama aku tidak menemuinya. Aku mendapatkannya berada di depan 
rumah, hanya saja aku tidak mengenalinya karena keadaannya telah berubah tidak 
seperti yang pernah aku kenal ketika ia menjabat sebagai gubernur Madinah. Ia 
kemudian mengucapkan selamat datang kepadaku dan berkata, “Mendekatlah kepadaku 
wahai Abu Hazim.” 
Tatkala aku mendekat kepadanya, aku berkata, “Bukankah 
engkau amirul mukminin Umar ibn Abdul Aziz?” 
“Ya...” jawabnya. 
Aku 
berkata, “Apa yang telah terjadi denganmu?!! Bukankah wajahmu (dahulu) berseri, 
kulitmu segar dan kehidupanmu penuh kenikmatan.” 
“Ya...” jawabnya. 
Aku berkata, “Lalu apakah yang telah merubah penampilanmu setelah engkau 
memiliki emas dan perak, dan engkau menjadi seorang amir bagi kaum muslimin?” 
“Apa yang telah berubah pada diriku wahai Abu Hazim?!” tanyanya. 
Aku 
menjawab, “Badanmu (menjadi) kurus...kulitmu kasar...wajahmu menguning...dan 
pancaran kedua matamu sayu.” 
Ia lantas menangis dan berkata, “Maka 
bagaimana bila kamu melihatku di dalam kubur setelah tiga hari?!...Kedua mataku 
meleleh di atas pipi...perutku terputus-putus dan robek-robek...dan ulat 
(belatung) bergerak menyantap badanku. Sesungguhnya apabila kamu melihatku pada 
saat itu –wahai Abu Hazim- niscaya kamu akan lebih terheran lagi dengan 
keadaanku daripada harimu ini.” 
Ia kemudian mengangkat pandangannya 
kepadaku dan berkata, “Tidakkah kamu ingat sebuah hadits yang pernah kamu 
katakan kepadaku di Madinah wahai Abu Hazim?” 
Aku menjawab, “Aku telah 
menyampaikan kepadamu banyak hadits wahai amirul mukminin...(hadits) manakah 
yang engkau maksudkan?.” 
“Ia adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu 
Hurairah” jawabnya. 
“Ya...aku mengingatnya wahai amirul mukminin” kataku. 
Ia berkata, “Ulangilah untukku, sesungguhnya aku ingin mendengarnya 
darimu.” 
Aku berkata, “Aku mendengar Abu Hurairah menuturkan, aku mendengar 
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya di depan kalian ada jalan mendaki yang 
sulit dilalui, penuh dengan bahaya, tidak ada yang mampu melewatinya kecuali 
setiap orang yang berbadan kurus (karena banyak beribadah dan berjihad).” 
Umar kemudian menangis dengan begitu kerasnya hingga aku merasa takut 
kalau ulu hatinya menjadi pecah. 
Ia lalu mengusap air matanya dan 
menoleh kepadaku seraya berkata, “Apakah kamu akan mencelaku wahai Abu Hazim 
apabila aku menguruskan badanku untuk jalan mendaki lagi sukar tersebut, dengan 
harapan aku bisa selamat darinya...sedangkan aku tidak menganggap diriku bisa 
selamat.” 
Adapun potret kedua dari potret kehidupan Umar, maka 
ath-Thabari telah meriwayatkannya kepada kita dari ath-Thufail ibn Mirdaas, ia 
menuturkan, “Sesungguhnya amirul mukminin Umar ibn Abdul Aziz ketika menjabat 
sebagai khalifah, ia menulis surat kepada Sulaiman ibn Abi as-Sariy wakilnya di 
“ash-Shughd”, ia berkata padanya, “Dirikanlah penginapan-penginapan di negerimu 
untuk menerima tamu-tamu muslimin, apabila ada salah seorang dari mereka yang 
melewatinya maka jamulah ia sehari semalam dan layanilah dengan baik serta 
jagalah kendaraannya. Apabila ia mengeluh kelelahan maka jamulah selama dua hari 
dua malam dan bantulah ia. Apabila ia adalah orang yang terputus perjalanannya, 
tidak memiliki bekal serta kendaraan yang bisa mengangkutnya, maka berilah 
kepadanya apa yang bisa menutupi hajatnya dan sampaikanlah ia ke negerinya.” 
Wali tersebut melaksanakan perintah amirul mukminin, ia mendirikan 
losmen-losmen yang diperintahkan untuk menyiapkannya. Berita tersebut tersebar 
di setiap tempat. Mulailah orang-orang di belahan timur dan barat negeri Islam 
menceritakan tentangnya dan memuji-muji keadilan khalifah dan ketakwaannya. 
Tidaklah orang-orang penduduk “Samarkand” (mendengarnya) kecuali mereka 
segera mengutus delegasi kepada gubernur Samarkand yaitu Sulaiman ibn Abi 
as-Sariy dan berkata kepadanya, “Sesungguhnya pendahulumu “Qutaibah ibn Muslim 
al-Bahiliy” telah menjajah negeri kami tanpa ada peringatan terlebih dahulu, dan 
di dalam memerangi kami ia tidak menempuh jalan seperti apa yang kalian tempuh 
wahai sekalian kaum muslimin...sungguh kami telah mengetahui bahwa kalian 
menyeru musuh kalian untuk masuk Islam...bila mereka menolak, kalian menyeru 
mereka untuk membayar 
jizyah...dan bila mereka menolak, kalian 
mengumumkan perang kepada mereka. Sungguh kami telah melihat keadilah khalifah 
kalian dan ketakwaannya hal mana ini membuat kami bersemangat untuk mengadukan 
pasukan kalian kepadamu...dan meminta pertolongan denganmu atas apa yang 
ditimpakan kepada kami oleh salah seorang panglima dari panglima-panglimamu. 
Maka, ijinkah kami –wahai amir- untuk mengutus delegasi kepada khalifahmu, dan 
agar kami bisa mengangkat kedzaliman-kedzaliman yang menimpa kami. Bila kami 
memiliki hak, maka kami akan diberinya...dan bila tidak, maka kami akan kembali 
ke tempat semula.” 
Sulaiman mengijinkan delegasi mereka untuk mendatangi 
khalifah di Damaskus, sesampainya di rumah khalifah, mereka mengangkat 
(mengadukan) perkara mereka kepada khalifah muslimin Umar ibn Abdul Aziz. 
Khalifah kemudian menulis surat kepada walinya yaitu Sulaiman ibn Abi 
as-Sariy yang berisi, “Amma ba’du...apabila suratku telah sampai kepadamu, maka 
tempatkanlah seorang qadli ke penduduk “Samarkand” untuk menangani pengaduan 
mereka...Apabila ia memutuskan kemenangan untuk mereka, maka perintahkan 
pasukanmu untuk meninggalkan kota mereka...serulah kaum muslimin yang tinggal di 
antara mereka untuk meninggalkan negeri mereka...dan kembalilah kalian 
sebagaimana semula dan (sebagaimana) mereka dahulu sebelum Qutaibah ibn Muslim 
al-Bahiliy masuk ke negeri mereka.” 
Tatkala delegasi tersebut datang 
kepada Sulaiman ibn Abi as-Sariy dan menyerahkan surat amirul mukminin 
kepadanya...ia segera menempatkan seorang qadli qudlat (hakim agung) untuk 
mereka yaitu Jumai’ ibn Haadlir an-Naaji. 
Ia (Jumai’) melihat kepada 
keluhan mereka dan meneliti berita mereka...ia mendengarkan persaksian 
sekelompok tentara muslimin dan panglima mereka. Sehingga teranglah baginya 
kebenaran klaim (dakwaan) penduduk Samarkand. Ia pun memutuskan kemenangan 
mereka. 
Di saat itulah, sang wali memerintahkan pasukan muslimin untuk 
mengosongkan rumah-rumahnya untuk mereka, dan agar kembali ke perkemahan, dan 
memerangi mereka kali yang lain. Entah mereka (muslimin) memasuki negeri mereka 
dengan perdamaian...entah mereka memenangkannya dengan peperangan dan entah 
kemenangan tidak mereka dapatkan. 
Ketika para pembesar kaum mendengar 
keputusan qadli qudlat muslimin untuk mereka. Mereka berkata satu sama lainnya, 
“Celaka kalian...sungguh kalian telah berbaur (berinteraksi) dengan mereka, 
kalian telah tinggal bersama mereka. Kalian telah melihat budi pekerti mereka, 
keadilan dan kebenaran mereka apa-apa yang kalian telah lihat...Maka, biarkan 
mereka (muslimin) tetap tinggal di sisi kalian...dan tenanglah dengan bergaul 
dengan mereka...dan berbahagialah dengan berteman dengan mereka.” 
Adapun 
potret ketiga dari potret kehidupan Umar ibn Abdul Aziz adalah seperti yang 
diriwayatkan kepada kami oleh Ibn Abdil Hakam dalam kitabnya yang berharga, yang 
berjudul “Sirah Umar ibn Abdul Aziz.” Ia menuturkan, “Ketika kematian mendatangi 
Umar, Maslamah ibn Abdul Malik masuk menemuinya dan berkata, “Sesungguhnya 
engkau –wahai Amirul Mukminin- telah melarang mulut anak-anakmu dari harta ini. 
Alangkah baiknya bila kamu berwasiat kepadaku untuk mereka atau kepada orang 
yang engkau kehendaki dari keluargamu.” 
Setelah Maslamah selesai dari 
perkataannya, Umar berkata, “Dudukkan aku.” Mereka kemudian mendudukkannya, dan 
ia berkata, “Sesungguhnya aku telah mendengar apa yang kamu katakan, adapun 
perkataanmu “Sesungguhnya aku telah melarang mulut anak-anakku dari harta 
ini...Demi Allah sesungguhnya aku tidak melarang mereka dari apa yang menjadi 
hak mereka, dan aku tidak pernah memberikan kepada mereka sesuatu yang bukan 
menjadi haknya. Adapun perkataanmu “seandainya kamu berwasiat kepadaku untuk 
mereka atau kepada orang yang engkau kehendaki dari keluargamu”, maka hanyalah 
yang menjadi penerima wasiatku dan waliku pada mereka adalah Allah yang telah 
menurunkan al-Kitab dengan haq, dan Dia-lah yang menjaga orang-orang shalih. 
Ketahuilah wahai Maslamah, bahwa anak-anakku adalah salah satu dari dua orang; 
entah orang yang shalih dan bertakwa, maka Allah akan mencukupkannya dengan 
karunia-Nya dan menjadikan jalan keluar bagi urusannya...dan entah orang yang 
thalih (jahat dan durhaka) dan gemar melakukan maksiat, maka aku tidak akan 
menjadi orang pertama yang membantunya dengan harta atas maksiat kepada Allah 
ta’ala.” 
Ia kemudian berkata, “Panggilkan anak-anakku.” 
Ia 
(Maslamah) memanggil mereka yang berjumlah sekitar sembilan belas orang. 
Ketika (Umar) melihat mereka berlinanglah air matanya dan ia berkata, 
“Sungguh...aku akan meninggalkan mereka sebagai pemuda yang fakir tidak memiliki 
sesuatupun.” Ia menangis hingga tidak terdengar suaranya...kemudian menoleh 
kepada mereka dan berkata, “Wahai anak-anakku...sesungguhnya aku telah 
meninggalkan kebaikan yang banyak untuk kalian...sesungguhnya tidaklah kalian 
melewati seorang pun dari kaum muslimin atau ahli dzimmah kecuali mereka melihat 
kalian memiliki hak atas mereka. Wahai anak-anakku, sesungguhnya di depan kalian 
ada dua pilihan, entah kalian menjadi kaya dan ayah kalian masuk neraka...atau 
kalian menjadi fakir dan ayah kalian masuk surga. Aku tidak menyangka kecuali 
kalian akan mendahulukan untuk menyelamatkan ayah kalian dari neraka daripada 
kekayaan.” 
Kemudian ia memandang kepada mereka dengan penuh kasih sayang 
dan berkata, “Bangkitlah, semoga Allah menjaga kalian...bangkitlah semoga Allah 
memberikan rizki kepada kalian....” 
Maslamah menoleh kepadanya dan 
berkata, “Aku mempunyai yang lebih baik dari itu wahai amirul mukminin.” 
“Apa itu?!” katanya. 
Ia menjawab, “Aku mempunyai tiga ratus ribu 
dinar...dan sesungguhnya aku menghibahkannya kepadamu, maka bagilah untuk 
mereka...atau engkau bersedekah dengannya bila engkau kehendaki.” 
Umar 
berkata kepadanya, “Bukankah ada yang lebih baik dari itu wahai Maslamah?” 
“Apa itu wahai Amirul Mukminin?” tanya Maslamah. 
Ia menjawab, 
“Engkau mengembalikannya kepada orang yang telah kamu ambil darinya, karena 
sesungguhnya kamu tidak punya hak.” 
Kedua mata Maslamah berkaca-kaca, ia 
berkata, “Semoga Allah merahmatimu –wahai amirul mukminin- dalam keadaan hidup 
dan mati...engkau telah melembutkan hati kami yang keras...engkau telah 
mengingatkannya di saat ia lupa...dan engkau telah meninggalkan kenangan untuk 
kami dalam kumpulan orang-orang shalih.” 
Orang-orang kemudian mengikuti 
berita tentang anak-anak Umar sepeninggalnya. Mereka melihat bahwa tidak ada 
seorangpun dari mereka yang merasa butuh dan fakir... 
Maha benar Allah 
Yang Maha Agung ketika berfirman, 
“Dan hendaklah takut kepada Allah 
orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang 
lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu 
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan 
perkataan yang benar” (Surat an-Nisaa: 9).
(www.alsofwah.com) 
Related Posts: