Di paruh awal abad ke 16, Jawa dalam genggaman Islam. Penduduk merasa tenteram
dan damai dalam ayoman Kesultanan Demak di bawah kepemimpinan Sultan Syah Alam
Akbar al-Fatah atau Raden Patah. Hidup mereka menemukan pedoman dan tujuan
sejatinya, setelah mengakhiri masa Syiwa-Budha serta animisme. Mereka pun
memiliki kepastian hidup, bukan karena wibawa dan perbawa Sang Sultan. Kepastian
hidup ada karena disangga daulat hukum. Dan kepastian daulat hukum Kesultanan
Demak Bintoro kala itu, berpijak pada syariah Islam.
“Salokantara” dan
“Jugul Muda”. Itulah dua kitab Undang-undang Demak yang menurut budayawan WS
Rendra dalam sebuah orasi budaya “Megatruh”, punya landasan syariah Islam. Di
hadapan peraturan negeri pengganti Majapahit itu, semua manusia sama derajatnya,
sama-sama khalifah Allah di dunia. Sultan-sultan Demak sadar dan ikhlas
dikontrol oleh kekuasaan para wali. Rakyat bukanlah abdi atau kawula sebagaimana
di masa berikutnya, rezim Mataram. Sejak abad ke-17, rakyat kembali menjadi
abdi, sebab kekuasaan begitu sentralistik. Malah, para raja rela ber-sembah
sungkem kepada penjajah londo. Dan, syariat Islam pun hanya dijalankan
setengah-setengah hingga kini, ketika para “penguasa” Jawa memimpin Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Sayang memang, Demak hanya bertahan sampai
umur 65 tahun. Keberadaannya sebagai kerajaan dengan dasar Islam telah tercatat
dalam sejarah. Dipegang-teguhnya syariat Islam sebagai pedoman hidup seluruh isi
negeri Demak tak lepas dari perjuangan para ulama. Bahkan, dalam pengelolaan
kesultanan, para ulama itu berperan sebagai tim kabinet (kayanakan) sultan. Para
ulama itulah yang tiga abad kemudian dikenal dengan sebutan Walisanga, wali
sembilan.
Nama Walisanga begitu dekat dengan umat Islam, khususnya di
Jawa. Ia menjelma dalam hikayat di alam pikiran orang kebanyakan. Berbagai karya
dalam bentuk tulisan, gambar, bahkan film berusaha menghidupkannya kembali. Tak
ayal lagi, anak sekolah dasar pun begitu hapal sembilan tokoh dan kisah
Walisanga. Mereka adalah
Maulana Malik Ibrahim (1),
Sunan Ampel
(2),
Sunan Giri (3),
Sunan Bonang (4),
Sunan Kalijaga (5),
Sunan Gunung Jati (6),
Sunan Kudus (7),
Sunan Muria (8)
serta Sunan Derajat (9). Akan tetapi, menurut Kitab Walisana karya Sunan
Giri II (Anak Sunan Giri), jumlah mereka bukan sembilan orang, tapi delapan
orang. Sumber kuno tersebut memuat ihwal kehidupan para ulama penyebar Islam di
Jawa dan kiprah dakwahnya. Nama Walisana yang menjadi nama judul kitab tersebut
tidak mengacu bilangan sembilan. Dikatakan juga, selain delapan wali tersebut
terdapat ribuan wali lainnya.
Walisanga ditulis dalam Serat Walisanga
karya pujangga Mataram RM Ng Ranggawarsita pada abad 19 sebagai walisanga, wali
sembilan. Kemudian muncul pelurusan, atau lebih tepatnya penafsiran ulang.
Sebagian berpendapat, kata sanga (baca: songo) merupakan perubahan dari kata
tsana (mulia, Arab). Maka, walisana berarti wali-wali mulia atau terpuji. Yang
lainnya melihat kata sana diambil dari bahasa Jawa kuno yang berarti tempat.
Karenanya, walisana berarti wali atau kepala suatu tempat atau daerah. Namun
kebanyakan pakar sepakat, bahwa Walisanga merupakan kumpulan ulama dengan dakwah
yang bertujuan menegakkan agama Allah.
Walisanga dalam berbagai tulisan
acapkali diidentikan sebagai para sufi pengembang ajaran tasawuf semata. Bahkan,
babad-babad yang lahir di masa Mataram banyak melukiskan Walisanga adalah para
tokoh keramat dan digdaya. Hingga wafat sekalipun, mereka tetap menjadi sumber
berkah. Namun, jika menengok karya-karya, ajaran, dan kinerja dakwahnya,
kumpulan wali (selanjutnya disebut ulama) itu menebarkan syariat Islam dalam
berbagai segi kehidupan. Kesultanan Islam Demak Bintoro beserta perangkat
konstitusinya bisa dikatakan sebagai puncak karya dan pengabdian mereka. Semua
itu hasil perjuangan berpuluh-puluh tahun para ulama dalam mendakwahkan syariat
Islam di wilayah kerajaan Majapahit yang sudah rapuh.
Isyarat kuat bahwa
mereka penyebar syariat bisa ditengok dari Primbon karya Sunan Bonang. Ajaran
Bonang bisa mewakili watak dakwah Walisanga. Dari kitab itu bisa ditetapkan,
Walisanga termasuk dalam aliran Ahlus Sunnah yang tegas dan konsekuen menentang
bid’ah dan dhalalah (sesat). Ajaran Bonang menolak konsep emanasi, panteisme
atau wihdatul wujud yang berintikan kesatuan Khalik dan hambanya. Mereka juga
penganut tasawuf sunni-nya al-Ghazali dan Abu Syalimi, yang menyelaraskan fiqh
syara’ dengan tasawuf. Alasan mereka, kalau orang belajar tasawuf tanpa dimulai
dari fiqh, besar kemungkinan ia akan menjadi zindiq (inkar), mendekati Allah
dengan meninggalkan syariat. Al-Ghazali dengan Ihya Ulumudin-nya memang menjadi
acuan pengembangan tasawuf di masa itu. Adapun tasawuf ekstrem di masa Walisanga
tak mendapat tempat. Terlepas dari kebenaran sejarah, Walisanga telah
membuktikan komitmennya pada tauhid dan syariah Islam dengan kisah diqishasnya
Syekh Siti Jenar. Ia dihukum karena dianggap telah mengembangkan ajaran
manunggaling kawula-gusti (wihdatul wujud) yang meresahkan masyarakat di saat
para ulama mempersiapkan berdirinya Kesultanan Demak. Para wali menghukumnya
setelah melalui musyawarah dan memiliki lembaga pengadilan.
Dalam
mempersiapkan lembaga-lembaga negara, para ulama melakukan pembagian tugas.
Masing-masing ulama bertugas merumuskan aturan penyelenggaraan negara sesuai
syariat Islam. Sunan Ampel dan Sunan Giri didukung lembaga penyokongnya
menyiapkan aturan soal perdata, adat-istiadat, pernikahan dan muamalah lainnya.
Dibantu pemuda Ja’far Shodiq (Sunan Kudus), mereka menyiapkan aturan jinayat dan
siyasah (kriminal dan politik). Di dalamnya terkandung hukum untuk imamah,
qishas, ta’dzir termasuk perkara zina dan aniaya, jihad, perburuhan, perbudakan,
makanan sampai masalah bid’ah.
Jauh sebelum Kesultanan Demak betul-betul
siap didirikan, para ulama telah mempersiapkan masyarakat dengan dakwah. Tidak
saja mumpuni dalam berdakwah, Walisanga menunjukkan keahlian politik, sosial dan
budaya yang baik. Jika dikilas balik, berikut gambaran sepak terjang Walisanga
yang terkait erat dengan dinamika Kerajaan Majapahit.
Sekitar 1445 M,
Raden Rahmatullah atau sunan Ampel dari Campa bersama dua saudaranya, Ali
Murtadlo dan Abu Hurairah datang ke Jawa. Raja Majapahit, Sri Kertawijaya dan
istrinya, Dwarawati yang juga bibi Rahmat menyambutnya selayaknya keluarga
keraton. Lalu, Sang raja berkenan menghadiahkan tanah perdikan kepada Rahmat di
Ampel Denta. Di sanalah, Rahmat mengembangkan pesantren dan pusat keilmuan untuk
pembinaan budi bangsawan dan rakyat Majapahit yang sedang merosot. Konsep
lembaga warisan Maulana Malik Ibrahim itupun kemudian menghasilkan kader-kader
dakwah yang handal. Dalam waktu singkat, Rahmat bisa mengembangkan basis-basis
Islam di beberapa kadipaten.
Beberapa tahun kemudian, Sri Kertawijaya
dikudeta oleh Rajasawardhana sebagai raja. Perkembangan Islam tak disukai raja
baru itu. Rahmatpun menyusun strategi baru dengan menyebar para ulama ke delapan
titik. Kala itu Majapahit tinggal tersisa sembilan kadipaten. Tim dakwah yang
delapan itu dinamakannya “Bhayangkare Ishlah”. Mereka adalah Sunan Ampel
sendiri, Raden Ali Murtadho, Abu Hurairah, Syekh Yakub, Maulana Abdullah, Kiai
Banh Tong, Khalif Husayn dan Usman Haji. Kader santri pun giliran menggantikan
beberapa posisi ulama. Di antara mereka adalah Raden Hasan yang kelak menjadi
Sultan Demak.
Dalam sebuah versi, dewan Walisanga dibentuk sekitar 1474
M oleh Raden Rahmat membawahi Raden Hasan, Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang), Qosim
(Sunan Drajad), Usman Haji (ayah Sunan Kudus), Raden Ainul Yaqin (Sunan Gresik),
Syekh Suta Maharaja, Raden Hamzah dan Raden Mahmud. Beberapa tahun kemudian,
Syarif Hidayatullah dari Cirebon bergabung di dalamnya. Sunan Kalijaga dipercaya
para wali sebagai mubalig keliling. Di samping wali-wali tersebut, masih banyak
ulama yang dakwahnya satu koordinasi dengan Sunan Ampel yang bertugas sebagai
seorang mufti tanah Jawi. Hanya saja, sembilan tokoh Walisanga yang dikenal
selama ini memang memiliki peran dan karya menonjol dalam dakwah maupun dalam
proses ketatanegaraan Demak. Berikut lima wali di antaranya.
Maulana
Malik Ibrahim.
Ia dianggap pelopor penyebaran Islam para wali di Jawa.
Memulai dari desa Leran Gresik, ia bergumul dengan rakyat kecil sebagai petani.
Keahlian bercocok tanam membuat rakyat sekitar tertarik untuk berguru tani. Ia
juga dipercaya ahli tata negara yang dikagumi kalangan bangsawan. Ibrahim pula
yang dikenal sebagai perintis lembaga pendidikan pesantren.
Raden Ali
Rahmatullah
Alias Sunan Ampel. Sang mufti dari negeri Campa ini
mengajarkan Islam secara lurus. Dalam mengajarkan Islam, ia tak kenal kompromi
dengan budaya lokal. Istilah pesantren dan santri diyakini pertama kali
digunakan oleh Sunan Ampel. Wejangan terkenalnya mo limo yang intinya menolak
mencuri, mabuk, main wanita, judi dan madat, yang marak di masa Majapahit.
Raden Ainul Yaqin
Atau Raden Paku atau Sunan Giri. Ia anak
Syekh Yakub bin Maulana Ishak. Ia diyakini sebagai tokoh fakih dan menguasai
ilmu falak (perbintangan). Di masa menjelang keruntuhan Majapahit, Paku
dipercaya sebagai raja peralihan sebelum Raden Fatah naik menjadi Sultan Demak.
Ia diberi gelar Prabu Satmata, Ratu Tunggul Kalifatullah Mukminin. Ketika Sunan
Ampel wafat, Sunan Giri menggantikannya sebagai mufti tanah Jawa. Pesantren Giri
hingga di masa Mataram menjadi Giri Kedaton yang selalu diminta untuk merestui
raja-raja di sebagian wilayah Nusantara. Catatan Portugis dan Belanda di Ambon
menyebut, Sunan Giri (dan pelanjutnya) sama dengan Paus di Roma yang memberkati
para kepala negeri sebelum naik takhta. Termasuk di dalamnya para sultan Islam
di Maluku, Hitu dan Ternate. Dengan demikian, Giri merupakan wujud lembaga
kekuasaan tersendiri, meski lebih sebagai lembaga berwenang dalam soal keagamaan
saja.
Raden Makhdum Ibrahim
Atau Sunan Bonang. Ia putra sulung
Sunan Ampel yang karya-karya tertulisnya terdokumentasikan hingga kini. Di
antaranya Suluk Bonang, Primbon I dan Primbon II. Dari tulisan-tulisan Bonang,
bisa dibaca watak dakwah para wali, sekaligus pedoman fikih umat Islam.
Raden Syahid
Atau Sunan Kalijaga. Ia tercatat paling banyak
menghasilkan karya seni berfalsafah Islam seperti tembang-tembang macapat (wali
lain juga turut mencipta), baju takwa, tata kota Islami, serta gong Sekaten
(Syahadat ain) di Solo dan Yogya. Ia membuat wayang kulit dan cerita wayang
Hindu yang diislamkan. Sunan Giri sempat menentangnya. Karena, wayang beber kala
itu menggambarkan gambar manusia utuh yang tak sesuai ajaran Islam. Kalijaga
mengkreasi wayang kulit yang bentuknya jauh dari bentuk manusia utuh. Ini adalah
sebuah usaha ijtihad di bidang fiqh yang dilakukan Sunan Kalijaga dalam upaya
dakwahnya.
Syarif Hidayatullah
Atau Sunan Gunung Jati. Nama ini
acapkali dirancukan dengan Fatahillah, yang menantunya sendiri. Ia memiliki
kesultanan sendiri di Cirebon yang wilayahnya sampai Banten. Ia adalah salah
satu pembuat soko guru Masjid Demak selain Sunan Ampel, Kalijaga dan Bonang.
Keberadaan Syarif berikut kesultanannya membuktikan ada tiga kekuasaan Islam
yang hidup bersamaan kala itu, Demak, Giri dan Cirebon. Hanya saja, Demak
dijadikan pusat dakwah, pusat studi Islam sekaligus kontrol politik para wali.n
(Hery D. Kurniawan/Sabili)
Related Posts: